" HUKUM HANYA TAJAM KE BAWAH, TUMPUL
KE ATAS "
Sebuah
kalimat yang mungkin sering kita dengar, tetapi maknanya begitu dalam dan
pahit.
Bagaikan
sebuah timbangan keadilan yang rusak, di satu sisi berdiri para penguasa dan
orang-orang berduit yang dengan mudahnya bisa membeli putusan, menawar hukuman,
bahkan lolos dari jerat hukum. Di sisi lain, ada rakyat jelata, orang-orang
miskin yang tidak punya apa-apa selain kejujuran, yang harus menelan pil pahit
ketika hukum datang menghampiri mereka.
Bagi
mereka yang punya uang, hukum hanyalah alat negosiasi, sebuah komoditas yang
bisa dibeli di pasar gelap bernama korupsi. Mereka bisa menyewa pengacara-pengacara
mahal, melobi para penegak hukum, dan mengatur jalannya persidangan seolah itu
adalah sebuah permainan catur. Sementara bagi rakyat kecil, hukum adalah palu
godam yang siap menghantam, tanpa ampun, tanpa pandang bulu.
Seorang nenek tua yang mencuri singkong
karena kelaparan bisa dipenjara bertahun-tahun, sedangkan seorang koruptor
kakap yang merugikan negara triliunan rupiah bisa bebas dengan alasan sakit
atau bahkan hanya divonis ringan. Itulah gambaran nyata dari "membela yang bayar."
Di
tengah-tengah semua ini, keadilan terasa seperti fatamorgana. Rakyat semakin
tidak percaya pada sistem, dan rasa frustrasi semakin menumpuk. Hukum yang
seharusnya menjadi pelindung bagi semua, kini berubah menjadi alat intimidasi
dan penindasan.
Namun, di
balik semua keputusasaan, masih ada harapan. Masih ada suara-suara yang
menuntut keadilan, masih ada orang-orang baik yang berani melawan arus.
Perjuangan untuk keadilan harus terus berlanjut, agar suatu hari nanti,
keadilan tidak lagi menjadi barang mahal yang hanya bisa dibeli oleh segelintir
orang.
0 comments:
Posting Komentar
TERIMA KASIH ATAS KOMENTARNYA