Pemerintah Enggan Terbitkan Perppu Perampasan Aset
JAKARTA – Keputusan pemerintah yang tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perampasan Aset terus menjadi polemik. Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa syarat "kegentingan yang memaksa" untuk Perppu tersebut belum terpenuhi. Pemerintah beranggapan bahwa perangkat hukum yang ada, seperti undang-undang tindak pidana korupsi, masih dinilai efektif.
Klarifikasi dari pemerintah ini memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan, terutama masyarakat sipil dan mahasiswa yang selama ini gencar mendesak agar RUU Perampasan Aset segera disahkan.
Klarifikasi Pemerintah: Tunggu RKUHAP dan Sinkronisasi
Menteri Koordinator Yusril Ihza Mahendra menjelaskan bahwa penerbitan Perppu hanya bisa dilakukan jika ada kondisi darurat. Ia menegaskan, "Belum ada alasan untuk mengeluarkan Perppu untuk itu. Karena Perppu harus dikeluarkan hal ihwal kegentingan yang memaksa."
Yusril juga menambahkan bahwa pemerintah memilih untuk memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terlebih dahulu. Menurutnya, RUU Perampasan Aset perlu disinkronkan dengan KUHAP agar tidak terjadi tumpang tindih aturan dan kekacauan dalam penegakan hukum di masa depan.
Tanggapan Mahasiswa: Sangat Mendesak dan Tuntutan Harus Dipenuhi
Di sisi lain, mahasiswa yang tergabung dalam berbagai aliansi terus menyuarakan penolakan terhadap sikap pemerintah. Mereka menilai bahwa kondisi korupsi di Indonesia sudah berada dalam tahap kegentingan yang memaksa, sehingga RUU Perampasan Aset seharusnya menjadi prioritas utama.
Tanggapan dari Komite Mahasiswa Hukum Indonesia (KMMIH) Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan bahwa pembahasan RUU ini sangat mendesak. Mereka menekankan bahwa pengembalian aset hasil korupsi ke kas negara dapat digunakan untuk pembangunan, seperti pendidikan dan kesehatan. Data dari KPK yang sering dikutip mahasiswa menunjukkan bahwa recovery rate (tingkat pemulihan) aset Indonesia hanya sekitar 0,2% dari standar internasional yang mencapai 3-5%. Angka ini menjadi bukti nyata perlunya undang-undang ini.
Perwakilan mahasiswa dari BEM SI Kerakyatan juga menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal proses pembahasan RUU ini. Mereka telah berdialog dengan perwakilan pemerintah dan mendapat respons positif, namun mereka tidak akan berhenti sampai RUU ini benar-benar disahkan.
Prospek ke Depan: Mahasiswa Akan Terus Mengawal
Ke depannya, para mahasiswa menyatakan akan terus melanjutkan aksi dan tekanan terhadap pemerintah dan DPR. Mereka akan berupaya memastikan RUU ini tidak hanya dibahas, tetapi juga disahkan secepat mungkin. Mahasiswa berencana untuk terus mengawal setiap tahap pembahasan di DPR dan memastikan bahwa substansi undang-undang ini tidak dikurangi atau dilemahkan.
Meskipun pemerintah telah berjanji akan membahas RUU ini setelah RKUHAP selesai, mahasiswa tetap skeptis. Mereka khawatir proses ini akan berjalan lambat dan RUU tersebut kembali terombang-ambing tanpa kejelasan. Oleh karena itu, pengawalan dari pihak mahasiswa dan masyarakat sipil akan menjadi faktor penentu apakah RUU Perampasan Aset ini akan menjadi kenyataan atau hanya janji politik.
0 comments:
Posting Komentar
TERIMA KASIH ATAS KOMENTARNYA